KENANGAN HUNTING DI NEGERI 1000 MINARET - I

Dari sebuah atas bukit, kupuaskan mata ini menjelajahi setiap jengkal dan titik di setiap sudut pandang mata. Hingga ke batas cakrawala juga kupaksa mata menyorot tajam. Ada perasaan momen yang kupunya saat ini tak ingin hilang begitu saja. Hari ini kali pertama aku ada di keindahan dan tempat yg menjadi kenanganku selamanya. Karena di sini, dari puncak bukit ini, aku bukan seorang diri saja yang akan bertutur bahwa di tempat inilah selaksa selaksa cerita akan menjadi memori.
Banyak orang berlalu lalang di sekitarku. Seperti diriku, banyak dari mereka adalah juga datang sendiri saja. kebanyakan lelaki, tetapi dari gerak-gerik yang kuindentifikasi sebagai kekhasan seorang yang bergerak secara bebas merdeka, ada juga perempuan yang sepertiku. Bepergian sendirian.
Suatu ketika aku ada di salah satu sudut di atas bukit ini, di celah-celah bangunan yang mengendapkan sejarah masa lalu, menimati pemandangan, menghitung ada berapa minaret. Benarkah ada seribu minaret? Tanyaku dalam hati. Ah, kalaupun aku tidak bisa menghitung sejumlah seribu minaret, aku percaya akan ada lebih dari seribu minaret di kota ini. Seribu atau lebih, pikiranku ketika itu tidak terfokus ke situ. Pikiranku cuma pada bagaimana di titik tertentu aku bisa mengambil beberapa pemotretan yg kukira akan berhasil baik.
Tapi itulah masalahnya. Aku hanya beberapa meter dari titik yang kumaksud, di mana sepasang remaja juga sedang asyik bercerita. Aku tidak mengenal mereka tentu saja, entah dari mana mereka datang dan sementara aku diam-diam mendengarkan kira-kira bahasa apa yg mereka sedang pergunakan. Aku tidak bisa mengenali bahasa apa yang mereka gunakan. Tapi mereka jelas bukan datang dari benua paling barat sana. Tidak juga datang dari negeri terbit matahari. Secara sembarang aku seperti mendengar bahasa perpaduan Latin dan Anglo Sakson.
Aku tidak bermaksud mengganggu kedua remaja ini. Aku pikir mereka mestinya juga tidak harus merasa terganggu oleh keberadaanku yang cuma beberapa meter dari mereka berdua. Bahwa kami bertiga di pojok itu sebetulnya sedang sama-sama menikmati kecerahan hari, kelembutan angin sepoi-sepoi sejuk dan siluet ratusan bangunan beraneka ragam bentuk nun jauh di bawah sana. Bahwa aku merasa ada yang aneh kemudian, ialah ketika mereka berbicara serius dan keduanya beberapa kali memandang ke arahku. Sepertinya mereka ingin mengatakan sesuatu padaku, sepertinya ada yang mereka inginkan dariku. Aku tak tahu. Tapi mereka akhirnya memang menghampiriku.