KENANGAN HUNTING DI NEGERI 1000 MINARET - IV [habis]


Sekian belas menit berada di punggung bukit di mana Citadel berada di atasnya, terhabiskan cuma bercakap-cakap dengan seorang perempuan cantik telah melupakanku untuk terus melahap pemandangan kota Kairo di awal petang. Aku kehilangan sekian menit akan kesendirianku dalam berkontemplasi dengan lingkungan yang hening, kecuali sesekali ketenangan terganggu dengan kemunculan tiba-tiba suara ratusan kepak sayap merpati yang menghambur dari arah sisi barat ke timur dan dalam sekejap menghilang. Ada juga suara sayup-sayup keriuhan padatnya lalu lintas nun jauh di bawah sana, tapi kadang juga sayup-sayup yang demikian itu hilang manakala desir angin berhenti. Atau segala riuh suara yang lapat-lapat terdengar itu kalah oleh suara azan waktu sholat ashar yang berkumandang dari ribuan menara (minaret) mesjid. Ada sekali-kali angin pelan berhembus ke arah kami. Dan itu terasa sangat menyegarkan. Angin yang membujuk untuk berangkat ke peraduan.

Tidak hanya satu atau dua kali angin sedemikian lembut menerpa wajah membawa aroma padang pasir entah dari mana. Kadang-kadang arahnya bisa dari belakang dan samping. Tapi aku paling suka kalau arah sepoi angin yang datang dari sebelah Alina dan si lelaki temannya yang berhembus pelan dan lembut ke arahku. Karena dengan begini, akan tercium olehku aroma parfum dari tubuh Alina yang sempat beberapa kali terjadi sebelumnya. Pengaruhnya sungguh luar biasa. Ingin rasanya dunia diisi oleh wangi parfum dan mendatangkan kenimatan tertentu. Kenikmatan untuk tidak diganggu oleh apapun kecuali dunia dipenuhi kenyamanan dan ketenangan. Ada efek yang tidak bisa kumengerti dari aroma wangi tubuh yang demikian, perasaan untuk bisa terbang ke alam antah berantah entah di mana.

"Ngobrol dengan anda mengasyikkan...." kata Alina setelah beberapa belas menit berlalu di antara kami betiga. Aku melirik ke teman lelakinya yang sedang sibuk membidik-bidikkan kamera yg sudah berada di tangannya.

"Kamu juga teman bicara yang menyenangkan" jawabku.

"Ah....saya kira anda cukup banyak mengatakan sesuatu yang saya tidak pahami mengenai foto" Alina terus berceloteh. "Dunia photography kelihatannya cukup menantang. Seni yang tampaknya sederhana bagi orang lain, tetapi di dalamnya banyak lorong-lorong yang mana seseorang bisa menemukan dunia tersendiri ...maksudku photography itu satu keahlian yang cara mendapatkannya hanya bisa diraih lewat semata-mata pengalaman pribadi....Karya fotopgrafer selalu tak pernah mengurangi kekagumanku akan foto yang dibuat."

Bagiku, kesimpulan gadis Turky ini telah beberapa langkah melampaui dari apa yang semestinya tidak datang dari orang yang baru mendengar soal satu-dua akan photography. Aku tidak bisa memahami kecerdasannya yang dalam waktu relatif singkat, menerima informasi ala kadarnya dari orang yang juga cuma sepotong- sepotong paham seni melukis dengan cahaya sepertiku. Aku sendiri tidak bakal kepikir bisa sampai pada filosofi photography seperti gadis Turky ini. Atau jangan-jangan si cewek ini punya hobi fotografi juga sebelumnya?

"Kapan anda meninggalkan Egypt?" mendadak Alina bertanya yang aku sendiri tidak memikirkannya selama berada di negeri Pharaoh ini. Mata Alina lurus memandangku, aku tahu dari sinar matanya terbaca rasa ingin tahu yang jujur, atau lebih tepat aku melihat perasaan hati dirinya seperti tahu sesuatu nanti hanya akan jadi harapan tinggal kenangan.

"Mungkin setelah lewat satu atau dua minggu. Tapi aku tidak punya hari yang pasti. Kamu sendiri kapan balik ke Istambul?" tanyaku.

"Kami ada dalam satu rombongan wisata ke Mesir. Kebanyakan setiap keputusan diambil oleh kepala rombongan. Hari ini kami berdua sengaja memisahkan diri. Aku merasa beruntung bisa kenalan dengan orang seperti anda..." Untuk beberapa hitungan detik aku diam saja setelah mendengar ucapan si cewek ini. Aku merasa aneh kalau ada cewek yang mencoba mempermainkan hatiku untuk dapat tersanjung. Ugh! Atau aku yang cuman terlalu terbuai sepoi angin sehingga salah untuk mengerti?

"Dan anda lupa siapa lelaki yang merasa lebih beruntung selalu dekat dengan anda?" balasku kemudian sambil senyum melirik teman cowoknya. Aku tak tahu begitu saja akubisa membalas pertanyaan Alina yg aku maksudkan untuk tidak membuatku repot ngobrol dalam tatanan permainan perasaan. Entah dari mana tiba-tiba datang keinginanku menggoda si cewek ini dengan sindiran seperti itu, tapi yang aku saksikan Alina tertawa ngakak mendengar aku berkata demikian.

Caranya tertawa dan bagaimana suaranya lepas, aku kira aku baru saja sadar bahwa aku untuk pertama kalinya mengenal jenis tawa perempuan seperti itu baru kali ini. Jenis suara tawa yang langsung membuatku merasa senang mendengarnya. Suara yang di dalamnya mengandung unsur keceriaan, kepolosan, rasa percaya diri, keramahan, tawa yang meyakinkan si pendengar akan janji keakraban sebuah persahabatan. Aku suka mendengar tawa si cewek ini bukan karena terdengar merdu, sebab kaidah kemerduan suara aku tidak tahu apa ciri-cirinya. Aku suka mendengar tawanya karena ... aku kira sebab aku memang lebih mengenal suara jangkrik, angin, geriak air, tangisan anak kecil, lenguh sapi, kepak sayap burung dan lainnya ketimbang suara tawa renyah dari seorang perempuan seperti Alina.

Jauh sesudah pertemuan dengan mereka hari itu, sering kucoba mengingat tawa renyah gadis ini, tapi aku selalu tidak pernah lagi berhasil utuh membongkarnya dari memoriku, bukan karena suaranya yang demikian istimewa itu jenis suara yang langka, melainkan perubahan-perubahan dalam keseharianku sesudahnya yang mengganggu kesendirianku. Tepatnya mengganggu perjalananku.

"Winale...kami harus pergi sekarang. Sekali lagi terimakasih telah memotret kami..." tiba-tiba Alina berkata. Ada nada yang dipaksakan dari cara ia berkata seperti itu.

"Tentu saja kalian mesti segera bergerak lagi. Jangan terlalu lama pisah dari rombongan..." kataku seolah berkata dengan teman yang telah lama kukenal, pura-pura menjadi orang yang sok bijak. "Kasihan temanmu sudah mulai bosan dia di sini...." lanjutku.

"Tentu saja aku mestinya bisa lebih lama ngobrol dengan anda..." balas Alina dengan iringan senyum ringan tapi jelas seperti dipaksakan. Diliriknya teman lelaki di sampingnya, mendesah sebentar dan untuk terakhir kali disapunya pemandangan di depan kami kemudian terus bergerak. "Semoga bisa jumpa lagi dengan anda..." kali ini senyumnya tulus dari isyarat yang bisa kutangkap. "Ya...semoga entah di mana bisa jumpa lagi" balasku. Kami pun bersalaman untuk berpisah.

"Hei...kamu masih ingat 'kan nomor teleponku? Kutunggu loh...!" tiba-tiba Alina setengah berteriak ke arahku dari beberapa meter setelah kami mulai dipisah oleh jarak. Tadi di tengah asyik ngobrol, kami sempat bertukar nomor telepon di mana kami menginap. Ini hanyalah basa-basi orang yang baru saling kenal, demikian aku menarik kesimpulan saat saling tukar alamat.

"....tapi kamu harus ingat lelaki yang di sampingmu....!" balasku masih terus menggodanya. Aku pikir memang aku sepantasnya harus mengingatkannya begitu.

"No problem, Winale! Byeeee...!" teriaknya lagi. Si lelaki temannya juga turut melambai ke arahku. Aku membalas lambaian mereka dan segera mengalihkan pandangan dari kedua insan yang entah karena apa, tiba-tiba saja aku disergap perasaan hampa begitu mereka pergi.

Beberapa detik kemudian pasangan itu menghilang dari pandanganku. Kembali aku sendiri lagi. Matahari hampir persis dua meter di atas ufuk barat. Di ujung horison pemandangan sudah mulai bercampur dengan pancaran cahaya yang siap menyambut detik-detik pergantian siang ke malam. Kukemasi kameraku, kulipat tripod. Aku juga harus segera beranjak dari tempat ini, pikirku.

Tiga hari berlalu, ketika aku tiba di hotel dari menggerayangi kota Kairo pada malam hari itu, seorang petugas hotel segera menghampiriku. Ia mengatakan padaku kalau ada seorang perempuan yang mengaku temanku sedang mencariku selepas magrib. Tentu saja aku merasa heran dengan laporan resepsionis hotel ini. Apakah aku punya teman di negeri Firaun ini? Kemudian si petugas menjelaskan ciri-ciri perempuan itu. Barulah aku teringat, Alina rupanya ingin menyambangiku! Menyambangiku? Untuk apa? Apa dia datang sendirian untuk menemuiku? Atau masih dengan teman lelakinya itu? Ah, aku tidak bisa menemukan jawaban semua tanya ini. Pertanyaan yang tak akan pernah terjawab andai saja malam itu juga aku tidak kedatangan panggilan telepon dari Alina setelah beberapa menit aku berada di kamar hotel.

***

Beberapa hari telah lewat. Sekarang aku dalam penerbangan ke selatan Mesir. Aku merasa senang, ke mana pun aku pergi ada banyak orang. Orang-orang yang tidak pernah kujumpa sebelumnya tentu. Wajah-wajah yang berupa-rupa dari berupa-rupa negara. Ada banyak objek yang mestinya bagus kufoto. Tapi sebanyak itu pula foto-foto yang kujepret biasa-biasa saja. Aku selalu memperbanyak langkah. Selalu memperpanjang jarak tempuh. Selalu berharap akan melihat sesuatu yang baru. Segalanya aku berharap agar hidup dalam dua puluh empat jam hari-hari itu hanyalah dengan beban pikiran berkelana ke tempat baru. Berharap hendaknya kepala ini hanya dipenuhi keinginan melihat sesuatu. Melihat seusatu dan memotret sesuatu. Aku tak ingin kepala ini berhenti sebentar dan diisi dengan sebuah ingatan. Sungguh hari-hari itu aku tak ingin benakku disinggahi ingatan ke hari-hari yg ada di belakang. Tidak. Tekadku tidak ingin mengingat segala kenangan Kairo sejak aku menerima telepon dari gadis yang bernama Alina Meylis di malam itu.

[habis]