KENANGAN HUNTING DI NEGERI 1000 MINARET - II

Kedua orang yang sejak beberapa waktu lalu ada di tempat yang sama dengan di mana aku berdiri melepas pandang tak terbatas ke horison langit, semakin mendekat ke arahku. Yang seorang lelaki berperawakan sedang, berkulit kuning langsat dan kelihatan jelas garis-garis halus di sepanjang tangannya gelap sebagai wujud rambut yang tumbuh di badan, sedang satunya lagi perempuan dengan usia sekitar dua puluh tahun. Seketika aku bisa melihat mereka berdua adalah sepasang manusia yang baru ada di usia dewasa yang mungkin memiliki jalinan kasih asmara. Aku merasa yakin soal ini, sebab sejak keberadaan mereka yang mengusik kesendirianku di punggung bukit sepi dan cuma suara desah lembut angin yang sepoi berhembus, sikap-sikap dan ekspresi wajah kedua insan tersebut tiada lain kecuali memancarkan kebahagiaan dari manusia yang lagi dilambungkan cinta. Begitu kesimpulanku.
Mereka adalah sepasang manusia yang punya cinta kasih, demikian pikirku. Dan aku di sini terpelanting di tepi oase sungai Nil, pohonpohon kurma, atau puncak piramid Kufu nun jauh beberapa belas kilometer di barat tempat matahari menenggelamkan diri. Aku mendadak menyadari diriku telah lama mengikuti jejak perjalanan waktu di mana pun berada yg aku habiskan dengan seorang diri saja. Tidak terlalu lama sebetulnya, namun sering-sering berada dalam situasi yang mengingatkan siapakah aku, dari manakah aku, ke manakah akhir hidupku ....bahwa pada titik tertentu menikmati kesendirian itu bisa menimbulkan pertanyaan, apakah alasan-alasan kesendirian itu telah sedemikian tepat motiv dan tujuannya? Puih! Pertanyaan-pertanyaan tidak berguna begini tidak seharusnya ada padaku, pikirku.
Ah! Tapi pada detik ini aku tidak sendiri lagi. Dua insan yang menghampiriku telah menjadikan dunia tidak begitu khusus lagi seperti kuanggap semula adalah milikku saja. Paling tidak untuk beberapa menit ke depan, aku bisa kembali menjadi manusia biasa lagi. Manusia yang punya lawan untuk kata pada siapa dialamatkan. Manusia yang melepas kata dan disambut dengan kata berbalas jawab. Mengisi ruang dan gema suara memantul ke dinding batu. Pasti ada desah, pasti ada tawa, pasti ada getar ceria, pasti ada kesima, pasti ada decak, pasti ada seringai, ada cemberut, ada keheranan, ada kritik, ada sindiran, mungkin pujian, mungkin ketidak setujuan, mungkin komentar, mungkin gerutu, mungkin cemberut, mungkin jugakah kebekuan? Yah, dalam hitungan detik setidaknya aku tidak sendiri. Aku bersama mereka, sepasang anak muda yang mencari jawab akan tanya yang menyergap.
Aku kira yang mendatangi dan mulai menyapaku dia si lelaki. Tetapi tidak. Si perempuanlah yang mendatangiku. Karena sikap dan gerak geriknya sepertinya dia punya masalah, aku pun memandang rupa dan wajahnya menjurus. Sinar yang terpancar dari perempuan muda ini, aku tahu dia sangat memaksakan dirinya untuk melihat sikapku yang tenang dan dingin, meski dalam hati aku menyembunyikan senyumku. Namun aku juga berusaha seperti menghadapi sesuatu yang tidak pernah terjadi. Aku juga tidak ingin, hanya karena aku mungkin kelihatan punya cermin wajah yang tidak perduli dan asing banginya, akan menyebabkan perempuan muda ini semakin tidak yakin dengan siapa dia bakal berhadapan. Lagipula aku pikir, tidaklah pantas aku sedemikian memperlihatkan keasingan diriku, sehingga itu semua akan menenggelamkan kecantikan sekaligus keberanian si perempuan cantik ini. Tidak ada salahnya kalau detik demi detik yang sejak semula kuisi dengan usaha mencari moment di kaki langit lewat rekaman photography, kini diganti dengan kehadiran sosok yang akan memecahkan keheningan dengan sapaan.