KENANGAN HUNTING DI NEGERI 1000 MINARET - III

"Maaf...." kata si cewek menyapaku dalam bahasa Inggris. Aku melihat dia mulai menggerakkan sesuatu yang sejak dari tadi ada di pegangannya. Aku tahu di dalam kantung itu tidak lain pastilah sebuah kamera SLR yang di bawa ke mana- mana. Aku toh sudah melihat mereka dari tadi mencoba mengutak-atik kamera itu.
"Boleh minta tolong memasang film ini ...?"" tanya si cewek lagi sambil memperlihatkan kamera SLR beserta satu rol film padaku.
"Boleh...dengan senang hati." jawabku. Aku menerima kamera dan film dari tangannya.
"Sudah kami coba memasangnya... tidak juga bisa pas." sahut si cewek lagi.
"....tapi aku sedang melakukannya buat kalian...." balasku sambil tak lupa senyum sekilas ke arah si cewek yang lagi memperhatikan bagaimana aku memasangkan rol film ke body kamera.
Itulah awal semuanya. Si cewek datang untuk minta aku memasangkan rol film dan mengambilkan beberapa kali shoot baik dirinya seorang dan dia bersama si kekasih hatinya. Aku bertanya pada si cewek, mengapa bukan si cowok yang sejak awal datang menjumpaiku? Sekedar ingin tahu dan memperpanjang kemungkinan bisa ngobrol. Dikatakannya bahwa rekannya tidak bisa berbahasa Inggris kecuali beberapa patah kata saja dan bahwa teman cowok yg sampingnya sama seperti dirinya tidak tahu bagaimana memasang roll film dengan tepat ke dalam kamera. Kamera tersebut adalah milik teman mereka yang sedang tidak bersama mereka hari itu. Itulah sebabnya ketika mereka melihat aku dengan gelantungan kamera di pangkal lengan ketika pertama kali mereka melihatku, mereka yakin aku orang yang tepat untuk didatangi dan memutuskan minta bantuan memasang film ke kamera dan sekaligus meminta diambilkan foto olehku.
Perempuan muda yang kini menjadi teman ngobrolku bernama Alina Meylis. Perawakan tubuhnya sekilas seperti ukuran rata-rata perempuan Asia keturunan Kaukasia. Tingginya sekitar 5,4 kaki dengan warna kulit terang dan bersih. Wajah oval dan pada bagian pipi sekilas tampak rambut halus tersamar berpadu dengan bayang merah garis-garis yang hampir tak kasat mata urat-urat darah. Ah, kulit muka yang tampak seperti transparan dengan terang kulit yang putih kemerahan dan bersih. Rambutnya kira-kira sejengkal tangan tergerai jatuh di bahu. Hitam pekat. Mengingatkan aku kulaitas rambut seorang model Sunsilk. Alina tidak menceritakan apakah dia punya hubungan darah dengan ras Kaukasoid. Alina cuma mengaku dia orang Turky. Cuma itu. Jauh di dalam pikiranku, apabila aku perhatikan seperti apa kehalusan kulitnya, garis-garis tegas bulu mata serta biru keabu-abuan warna bola matanya, aku berkesimpulan pastilah nenek moyang gadis ini suatu ketika datang dari arah utara Turky. Bisa jadi saat-saat itu terjadi ketika gelombang serbuan Kekaisaran Romawi menderas ke Asia kecil, di mana Turky wilayah yang menjadi pintu gerbang bagi kekaisaran Romawi dalam gelombang serbuannya hingga ke Asirya dan Palestina sekarang.
Alina adalah gadis - menurut kesimpulan sujektivku - yang mudah bergaul dan enerjik. Punya rasa ingin tahu yang tinggi, tetapi juga punya selera humor yang lumayan. Mengobrol dengannya menjadikan rasa haus dan keinginan untuk merokok menjadi hilang. Moment perjumpaan kami bertiga, aku, Alina dan teman cowoknya secara tidak diduga kecuali disebabkan masalah memotret, maka berbicara dengan gadis Turky ini mula-mula hanya berkisar soal foto, terutama kamera yang mereka gunakan. Kemudian merembet ke soal asal muasal, keluarga dan sekolah serta hal-hal remeh lain. Bahwa Alina adalah mahasiswa di tingkat kedua pada jurusan Ilmu Sosial Politik, tidaklah mengherankanku. Sebab aku kira itulah sebabnya dia punya keberanian untuk bercakap-cakap dengan siapa saja dalam bahasa Inggris dengan orang yg dijumpainya. Sementara akupun berbicara sebatas yg kumampu. Namun demikian suasana ngobrol tidaklah membosankan bagi kami bertiga. Sebetulnya lebih tepat dikatakan kami ngobrol berdua saja aku dan Alina, sementara lelaki teman atau pacar Alina sibuk jepret sana-jepret sini, sesekali berbicara pada Alina yang sudah tentu aku tidak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Sesekali aku memperingatkan Alina, tidak sepantasnya dia menghabiskan waktu cuma bercakap denganku sementara teman lelakinya menjadi pendengar saja. Aku juga mengingatkan Alina barangkali si lelaki temannya sudah ingin bergerak ke lain tempat di sekitar kami sehingga mereka saatnya membiarkan aku sendiri lagi. Tetapi gadis ini mengatakan hal demikian bukan masalah bagi mereka. Aku pun berusaha, sesekali mencoba melibatkan si lelaki entah apakah dia mengerti atau tidak. Sekedar mencairkan kebekuan perasaan si lelaki kalau-kalau itu terjadi padanya. Ada saatnya di mana aku mencoba memberi kesan di depan si cowok bahwa ngobrol dengan Alina semata wayang bukan berarti aku cuma tertarik bercengkerama dengan perempuan cantik yang barangkali adalah benar kekasih hatinya. Aku berusaha sebagai lelaki asing bagi lelaki teman Alina ini, sangat tidak pantas untuk bisa dicemburui olehnya hanya karena Alina pun demikian begitu ramahnya padaku dan aku seolah menikmatinya. Menikmati obrolan dengan Alina memang itu kurasakan, tapi sungguh aku juga tidak berharap hal ini demikian kentara bagi si cowok sebagai cermin lahiriah kelelakianku. Meski aku lelaki, meski aku orang asing bagi mereka, tetap saja aku merasa perlu menjaga perasaan sesama kaum lelaki adalah penting di mana dan kapan saja. Tidak peduli dengan orang asing sekalipun yang mungkin berjumpa sekali seumur hidup.